Inflasi AS Meroket, Rupiah Makin Tertekan
ilustrasi. Berapa honor panitia Pemilu 2024--
BALI, RAKYATBENGKULU.DISWAY.ID - Inflasi di Amerika Serikat (AS) semakin liar menanjak. Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumen (IHK) pada bulan lalu tumbuh 9,1 persen secara tahunan, Rabu (13/7) pagi waktu setempat.
Angka tersebut tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen meyakini, inflasi Negeri Paman Sam telah mencapai puncaknya. Pemerintah bakal bekerja keras menurunkan gejolak itu. Didukung dengan arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed)
“Kami mendukung upaya Fed yang mereka anggap perlu untuk mengendalikan inflasi. Kami juga akan mengambil langkah kebijakan jangka pendek untuk menekan inflasi. Terutama, pada harga energi cadangan minyak strategis,” kata Janet di Nusa Dua, Bali, (14/7).
Dia menyadari, kebijakan agresif The Fed akan memengaruhi ekonomi emerging market. Suku bunga bank sentral AS yang telah meningkat lebih cepat daripada bank sentral negara-negara lainnya berdampak terhadap penguatan dolar AS (USD).
BACA JUGA: Inflasi Indonesia Terkendali di Tengah Peningkatan Inflasi Global
Sehingga, menyebabkan sejumlah mata uang negara berkembang terdepresiasi. Akibatnya, pertumbuhan dan inflasi di negara-negara tersebut bakal memburuk.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, negara-negara yang tidak memiliki kemampuan untuk subsidi, maka risikonya membebankan ke masyarakat. “Tak heran kalau inflasi banyak negara melesat dan mengantarkan mereka ke jurang resesi.
Kami juga melihat tantangan dalam menangani inflasi adalah salah satu yang paling penting dalam pertemuan G20 yang dimulai besok (hari ini, Red),” ungkapnya dalam diskusi rangkaian Finance Minister Central Bank Governer (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Bali.
Dari industri perbankan, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Sunarso menyatakan, ekonomi Indonesia masih sangat solid. Berbagai kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil terorkestrasi dengan baik. Sehingga, menghasilkan ketahanan ekonomi yang cukup resilience.
BACA JUGA: Banting Setir dari Honorer, Buka Usaha Ikan Hias, Hasilnya Alhamdulillah
“Indonesia bersyukur mendapat windfall dari kenaikan harga komoditas. Sehingga memiliki cadangan devisa yang cukup kuat. Itu maksud saya cukup resilience. Tapi tetap harus waspada,” imbuhnya.
Sebab, ada juga UMKM yang bisa terdampak gejolak eksternal. Misalnya, pengrajin tahu tempe yang bahan bakunya kedelai. Sekitar 70 persen komoditas pangan itu masih impor.“ Kalau, dolar AS naik pasti kena juga.
Itu yang saya katakan sebenarnya nggak aman aman amat. Tetap ada risiko,” terang ketua Himbara tersebut.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menerima delegasi Bank Dunia di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (14/7). Pada pertemuan itu, Jokowi didampingi oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
BACA JUGA: Ibu Brigadir J dalam Guncangan Hebat, Hasil Pemeriksaan Dokkes Polda Jambi
Usai pertemuan, Suharso menjelaskan bahwa Bank Dunia mengapresiasi perkembangan ekonomi Indonesia saat ini. Sebab, di antara negara-negara yang sekarang sedang menghadapi situasi yang sulit, Indonesia dinilai bisa menjaga stabilitas perekonomian.
“Itu mengacu pada upaya menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di level sekitar 5 persen,” katanya.
Selanjutnya, Bank Dunia juga menyarankan Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonominya dari sumber-sumber lain, misalnya dari ekspor. Terkait ekspor, Bank Dunia menilai perlu sebuah reformasi struktural yang dapat menekan tarif.
“Jadi tariff barrier itu kalau bisa dikurangi dan dengan demikian Indonesia punya sumber pertumbuhan yang lain selain investasi yang sekarang sudah dilakukan,’’ ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: