Komunikasi, Antara Bicara dan Memahami
Nugroho Tri Putra--dokumen/rakyatbengkulu.com
Oleh : Nugroho Tri Putra, M.I.Kom*
“KEKELIRUAN Komunikasi sering terjadi ketika orang tidak mendengarkan untuk mengerti melainkan untuk menjawab” (anonim)
Komunikasi memiliki peran penting dalam berbagai aktivitas kehidupan. Setiap yang berkomunikasi tentu ada tujuan. Ada yang diharapkan. Tetapi, tidak semua proses komunikasi itu bisa sesuai yang diharapkan oleh komunikan.
Tulisan ini bukan untuk melihat proses komunikasi secara teoritis, tapi untuk melihat kondisi realitas komunikasi yang dilakukan para calon legislatif (Caleg) dalam upaya merebut konstituennya. Komunikasi menjadi kunci dalam segala hal. Termasuk menyukseskan tujuan dari Caleg terhadap konstituen. Karena itu, komunikasi menjadi bagian penting untuk mencapai pelbagai tujuan.
Menuju Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif tahun 2024, ketika telah ditetapkan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT), mayoritas Caleg ingin mencapai pada titik kemenangan, yaitu terpilih menjadi legislatif. Menggapai itu, Caleg harus memetakan strategi komunikasi yang harus dijalankan agar langkah yang dilakukan tidak sia-sia.
Komunikasi langsung terhadap konstituen adalah hal yang diharapkan oleh konstituen meskipun tidak semua Caleg berharap seperti itu. Mengapa? Para Caleg akan memanfaatkan berbagai media untuk meningkatkan efektivitas komunikasi kepada konstituennya, tak selalu komunikasi tatap muka. Sebut saja pemanfaatan media luar ruang seperti baliho, spanduk, brosur dan lain lain. Melalui media luar ruang ini Caleg dapat bersosialisasi dan menjangkau konstituennya khususnya pada daerah pemilihan (Dapil) yang dituju.
Sementara itu, konstituen berharap dapat mengenal lebih dekat terhadap Caleg melalui komunikasi tatap muka, karena tak selamanya media luar ruang dapat memrepresentasikan program dan visi dari Caleg. Ini sangat penting, melalui komunikasi tatap muka, konstituen dapat meminimalisir kekeliruan dalam memaknai komunikasi para Caleg. James Borg mengatakan bahwa komunikasi manusia terdiri dari 93% bahasa tubuh dan isyarat paralinguistik, sementara hanya 7% terdiri dari kata-kata. Bahasa tubuh berbicara lebih jelas daripada kata-kata. Melalui komunikasi ini konstituen bisa mendapatkan pemahaman yang jauh lebih baik.
Semakin banyak komunikasi tatap muka yang dilakukan, semakin membuka ruang kesempatan untuk membangun hubungan yang tidak dapat dirasakan melalui media luar ruang. Ini juga membantu membangun persahabatan dan kepercayaan dalam hubungan.
Tidak hanya itu, konstituen juga dapat memaknai langsung cara dan kemampuan berkomunikasi Caleg dalam menyampaikan program dan visi pro rakyat mereka. Apa yang dibicarakan, apa yang diinginkan, dan seperti apa Caleg mampu mengakomodir keluh kesah dan keinginan warga.
Bicara dan Memahami
Dalam berbicara, komunikan menginginkan pendengarnya paham. Caleg yang menemui konstituennya dengan cara menyapa, merangkul dan berbicara, tak lain tujuan akhirnya adalah ingin dipilih. Sehingga mereka bisa mewakili aspirasi konstituennya. Lalu, bagaimana dengan konstituennya? Tak hanya komunikasi tatap muka, konstituen ingin dipahami apa yang menjadi keinginan konstituen terhadap Caleg yang akan dipilihnya. Contohnya, bagaimana persoalan ekonomi, sosial, ketenagakerjaan yang menjadi isu strategis dan berimplikasi pada kesejahteraan dapat teratasi melalui langkah konkret wakil rakyat.
Pemahaman itu yang diinginkan konstituen terhadap para Caleg yang saat ini sedang berjuang membangun pondasi pondasi suara. Pengalaman, prestasi, visi yang benar benar mewakili rakyat menjadi salah satu faktor pertimbangan konstituen dalam memilih Caleg. Harapan besar konstituen adalah bagaimana Caleg mampu meyakinkan warganya agar ketika terpilih nanti dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Komunikasi Melalui Platform Media Sosial
Salah satu upaya lainnya dalam berkomunikasi dengan konstituen adalah melalui platform media sosial, cara ini paling banyak digunakan para Caleg untuk mencitrakan diri, menerangkan visi dan misi, termasuk meminimalisir biaya pencitraan dibanding penggunaan media mainstream. Akan tetapi, tingkat efektivitas melalui media sosial juga tak selamanya baik. Banyak pula Caleg yang kandas meski sudah memanfaatkan pelbagai media sosial. Ini artinya para Caleg perlu membaca peluang terhadap konstituennya dan mengidentifikasi media komunikasi apa saja yang bisa menarik simpati konstituennya mengingat konstituen memiliki latarbelakang yang berbeda-beda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: