Pekan lalu. Sebuah perusahaan swasta dikabarkan berhasil akan impor BBM. Sebanyak 3.700 ton.
Tidak seberapa. Tapi tetap surga. Itu akan tiba tanggal 8 besok.
Ternyata berita itu diralat kemarin. Kedatangannya belum bisa ditentukan. Mungkin lebih baik tidak datang daripada jadi rebutan.
Tapi dokter perlu pergi ke rumah sakit. Tidak mungkin jalan kaki. Polisi juga perlu menjaga ketertiban.
Semuanya perlu bensin. Dokter pun ikut demo dua hari lalu: minta jatah khusus bensin.
Sebenarnya nilai bail out Sri Lanka tidak besar. Apalagi bagi Tiongkok. Utang USD 35 miliar tidak ada artinya.
Tapi Tiongkok pilih jaga nama. Niatnya membantu belum tentu menghasilkan ucapan terima kasih.
Selama ini Tiongkok babak belur di dunia. Dituduh sebagai penyebab utama kebangkrutan Sri Lanka.
Padahal pinjaman Sri Lanka ke Tiongkok hanya 10 persen dari seluruh pinjaman luar negerinya. Toh Tiongkok masih bisa membantu lewat IMF.
Kebangkrutan Argentina dulu –tahun 2011– lebih mengerikan.
Besarnya USD 81 miliar. Jumlah pinjamannya itu ditukar dengan performing security.
Mirip performance bond. Sampai hari ini baru 25 persen pinjaman yang sudah dipotong itu bisa diselesaikan. Yang 75 persen lagi masih akan lama.
Bahkan kebangkrutan Jamaica di tahun 2010 masih lebih berat dari Sri Lanka.
Yang terbaru adalah kebangkrutan Yunani di tahun 2015. Tapi Yunani beruntung. Ia sudah tergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa.
EU pun menyelamatkannya. Sebagian asetnya dijual ke Tiongkok: pelabuhan besarnya itu.
Sri Lanka bukan Yunani. Yang sudah pasti tingkat kemiskinan di Sri Lanka akan meroket.