BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Kata kawe dan kopi sebenarnya memiliki makna yang sama saja. Tapi di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, pemakaian kata kawe dan kopi yaitu berbeda. Kopi umumnya hanya disebut ketika sudah berubah bentuk menjadi suatu minuman.
Biji kopi itu diraup Sutrisno dari dalam karung yang bewarna putih lusuh. Diamati sebentar, lalu Sutrisno berucap bahwa ini masih belum kering. "21 hargenye (harganya Rp 21 ribu per Kg)" ucap Sutrisno seorang petani kopi.
Begitulah aktivitas Sutrisno siang hari beberapa waktu yang lalu. Bekerja di gudang pengepul membuat lelaki yang berumur 41 tahun ini selalu berhubungan dengan kopi.
Sekilas saja, Sutrisno sudah sangat paham dengan kualitas biji kopi yang dijual petani dan nilai harganya.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Budidaya Kopi Bengkulu ! Istilah Kawe Hingga Kawo Yang Diadopsi dari Timur Tengah
Dia sulit menentukan ketika menanyakan mana yang lebih populer antara kawe dengan kopi. Ada yang menyebut kawe, ada pula yang menyebut kopi.
"Saya kira sama saja," ujar Sutrisno sambil agak tersenyum.
Sutrisno pun tak tahu ihwal penyebutan nama kawe. Dia mengaku, sejak lahir nama kawe sudah ada dan dipergunakan masyarakat Kepahiang.
"Lebih baik coba tanyanya kepada orang-orang yang tua saja", ucap Sutrisno lalu tersenyum lagi.
BACA JUGA:Asal Usul Kopi Kawo di Kerinci, Nelangsa Petani Pada Zaman Belanda
"Ngupi kudai" istilah dan pertanyaan ini acap didengar Joko ketika singgah di rumah kerabat maupun temannya.
Ini sudah merupakan bentuk tradisi yang mengakar di masyarakat Pagar Alam Provinsi Sumatera Selatan untuk mengajak tetamu minum kopi.
Sebaliknya Joko yang bermukim di Bangun Rejo tak pernah mendengar orang mengajak untuk minum kawe atau bahkan misalkan dengan ajakan seperti "ngawe kudai".
Kalau ngawe kudai, kedengarannya emang agak janggal, kawe lebih tepat ditujukan kepada buah kopi yang belum diolah menjadi bubuk kopi.
BACA JUGA:Soal Kopi ! Perkebunan Pertama Kali dan Minum Kopi Asli Tanaman Indonesia, Orang Jawa Barat