BACA JUGA:Jika Ingin Beribadah Harus ke Negara Tetangga, 6 Negara Ini Tidak Mempunyai Masjid
Dilanjutkan Randi, selain dapat menggunakan Undang-Undang ITE, juga dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi tertuang dalam Pasal 66 dan Pasal 68.
“Setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian pada orang lain,” jelas Randy.
Jika terbukti melakukan pemalsuan data pribadi.
Dapat diancam Pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar.
Dengan adanya dasar hukum yang kuat tersebut, ditambah dengan konsekuensi hukum yang berat, setiap orang dilarang untuk melakukan pelanggaran atas ketentuan tersebut,” tutupnya.
BACA JUGA:5 Tradisi Ramadhan yang Dirindukan, Ngabuburit Hingga Tadarusan di Masjid
BACA JUGA:Siapkan Anggaran Rp2,1 Miliar, Tahun Ini 75 Masjid dan Mushola Diperbaiki
Disisi lain, Praktisi Hukum, Zico Junius Fernando, SH, MH, CIL.C.Med berpandangan dalam konteks hukum di Indonesia, peristiwa yang diduga sebagai manipulasi nilai oleh seorang pejabat di SMA Negeri 5 Bengkulu yang berujung pada kerugian bagi siswa menarik perhatian dari berbagai sudut hukum.
Dari perspektif hukum perdata, tindakan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata.
“Mengingat adanya kerugian yang dialami oleh pihak lain, dalam hal ini adalah siswa yang merasa dirugikan,” kata Zico.
Di sisi lain, dalam konteks pidana, apabila terbukti terdapat niat untuk memanipulasi nilai demi keuntungan tertentu atau merugikan orang lain.
BACA JUGA:Berdiri 2 Abad Sebelum Masa Wali Songo: Masjid Saka Tertua di Nusantara
BACA JUGA:Lima Masjid Indah di Kota Bandung, Punya Sejarah Unik dan Bentuknya Juga Unik
“Hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan dokumen menurut Pasal 263 KUHP atau penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian sesuai dengan Pasal 421 KUHP,” terangnya.
Lebih lanjut, tindakan ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang sangat menekankan pada pentingnya kejujuran akademik dan integritas pendidikan.