Awards Disway
HONDA

Jurnalisme Digital di Era Distraksi, Palki Sharma dan Laban Laisila Bicara tentang Multimedia Storytelling

Jurnalisme Digital di Era Distraksi, Palki Sharma dan Laban Laisila Bicara tentang Multimedia Storytelling

Diskusi Palki Sharma dan Laban Laisila ungkap tantangan digital journalism, hoaks, dan strategi multimedia storytelling di era banjir informasi.--dokumen/rakyatbengkulu.com

BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Di era banjir informasi, jurnalisme digital menghadapi ujian terbesar: bukan lagi bersaing antarredaksi, melainkan melawan distraksi. Dari video kucing hingga meme viral, perhatian publik kini bisa tersedot dalam hitungan detik.

Hal tersebut diungkapkan jurnalis senior Firstpost India, Palki Sharma, dalam sesi diskusi Voices of Tomorrow: Digital Journalism and Multimedia Storytelling yang digelar secara daring, Sabtu, 20 September 2025.

Bersama jurnalis Narasi TV Indonesia, Laban Laisila, keduanya membedah dinamika digital journalism dan strategi multimedia storytelling di tengah gempuran konten media sosial.

“Musuh terbesar kita bukan lagi saluran berita lain, melainkan distraksi. Video kucing, meme, reels—semuanya bisa merebut perhatian publik. Jurnalisme digital terasa cepat, tanpa henti, kadang kejam, tapi sekaligus sangat demokratis,” ujar Palki Sharma membuka paparannya.

BACA JUGA:Jejak India di Bengkulu: Dari Tabut, Kebun Keling, hingga Identitas Budaya

BACA JUGA:Perkuat Hubungan Bilateral, Konsul Jenderal India di Medan Kunjungi Bengkulu

Menurutnya, era digital memang memberi kebebasan siapa pun untuk menjadi penyampai informasi. Namun, kebebasan itu menghadirkan masalah baru: banjir konten tanpa verifikasi.

“Dunia digital membuat bercerita lebih mudah, tapi kebenaran jadi lebih sulit. Siapa pun bisa memublikasikan, siapa pun bisa memperkuat, tapi tidak semua mau memverifikasi. Akibatnya, hoaks justru lebih cepat beredar dibanding fakta,” tegasnya.

Citizen Journalism: Antara Partisipasi dan Risiko

Palki mengingat kembali tren citizen journalism pada 2007–2008, ketika televisi mendorong partisipasi publik dengan mengirimkan video dari lapangan.

Saat itu, jurnalisme warga dianggap positif. Namun kini, dengan setiap orang memiliki ponsel dan akun media sosial, arus informasi justru kian tak terkendali.

BACA JUGA:Media dan Perspektif Gender, Ada Kesenjangan Representasi Perempuan di Jurnalisme dan Politik

BACA JUGA:Ketika Jalanan Bergemuruh, Suara HAM Tak Boleh Padam

“Orang lebih sering mengunggah tanpa memeriksa. Bahkan sebagian jurnalis ikut terburu-buru. Padahal prinsip dasarnya jelas: bila sumber resmi, bisa langsung ditulis dengan atribusi. Bila sumber anonim, harus ada minimal dua konfirmasi. Hari ini, hampir tak ada yang mau menunggu,” ungkap Palki.

Ia menegaskan bahwa solusi bagi media bukanlah adu cepat, melainkan memperkuat proses editorial. “Di Firstpost kami selalu bilang, jangan cari kami untuk sekadar breaking news, tapi cari kami untuk berita yang bisa dipercaya. Konsistensi itulah yang akan dihargai audiens,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: