Jurnalisme Digital di Era Distraksi, Palki Sharma dan Laban Laisila Bicara tentang Multimedia Storytelling
Diskusi Palki Sharma dan Laban Laisila ungkap tantangan digital journalism, hoaks, dan strategi multimedia storytelling di era banjir informasi.--dokumen/rakyatbengkulu.com

Laban Laisila menyoroti pentingnya multimedia storytelling bagi jurnalis masa kini. --dokumen/rakyatbengkulu.com
Peran Multimedia Storytelling
Dalam sesi yang sama, Laban Laisila menyoroti pentingnya multimedia storytelling bagi jurnalis masa kini. Menurutnya, format boleh berganti, dari teks, foto, hingga video pendek, tetapi prinsip bercerita tetap sama: menyampaikan kebenaran.
“Seorang jurnalis hari ini bisa memotret, merekam video, menulis naskah, bahkan mengedit hanya dengan smartphone. Namun kualitas cerita tetap jadi penentu apakah karya itu bertahan atau tenggelam,” kata Laban.
BACA JUGA:Distan Mukomuko Catatkan Penurunan Harga TBS Sawit Hari Ini, Berikut Rinciannya
BACA JUGA:Harga Beras di Mukomuko Turun Berkat Operasi Pasar Murah, Dinas Ketahanan Pangan Gencarkan GPM
Ia mencontohkan kampanye digital Narasi TV, seperti “Indonesia Darurat” dan “17+8”, yang menggunakan fitur add yours di Instagram Story. Bagi Laban, kampanye ini bukan sekadar viralitas, melainkan ajakan bagi publik untuk ikut bersuara dalam isu-isu penting.
“Secara politik, media tidak boleh berpihak ke satu sisi. Tapi saya percaya media harus berpihak pada kepentingan publik. Itulah yang membuat media bisa tetap berada di tengah,” ujarnya.
Risiko Serangan Digital
Keberpihakan pada publik, lanjut Laban, kerap membuat media menjadi sasaran serangan digital. Bahkan, Narasi TV pernah dicatat oleh International Federation of Journalists sebagai media dengan kasus serangan digital terbanyak di dunia.
“Risiko itu wajar. Serangan digital adalah konsekuensi dari membela kepentingan publik. Risiko bisa kita mitigasi, tapi tidak perlu kita takuti,” katanya.
BACA JUGA:Bertepatan dengan HUT PMI Ke-80, Pemprov Bengkulu Serahkan Satu Unit Ambulans
Selain membahas fenomena citizen journalism, Palki juga menyinggung penggunaan kecerdasan buatan (AI) di ruang redaksi.
AI, katanya, memang mampu mempercepat proses kerja, dari menulis naskah hingga mengedit video. Namun, AI tidak bisa menggantikan intuisi dan empati jurnalis.
“AI bisa menjahit kata-kata, tapi tidak bisa mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman. Itu tugas manusia, itu tugas jurnalis,” kata Palki.
Ia mengingatkan bahwa apa pun platform dan teknologi yang digunakan, kepercayaan publik tetap menjadi fondasi utama.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


