Indonesia Darurat UU Khusus Implementasi BJS dan Diskresi untuk Menuju Indonesia Emas
Dr. Iskandar. ZO,SH.MSI--Ist/Rakyatbengkulu.com
• Fungsi: Mendorong direksi untuk berani mengambil keputusan strategis yang diperlukan demi pertumbuhan perusahaan, tanpa takut akan tuntutan hukum jika hasilnya tidak sesuai harapan.
• Prinsip: Keputusan harus diambil berdasarkan pertimbangan yang matang, dengan proses yang bertanggung jawab, dan demi kepentingan perusahaan, bukan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain.
Sesungguhnya pelaksanaan BJR ini sangat selektif sekali karena telah melalui dari Standart Operational Prosudere/SOP yang dibuat Lembaga pengawas sebagai contohnya: Dalam rangka menghindari terjadinya kerugian terhadap perusahaan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan direksi untuk memperoleh persetujuan pemegang saham yang independen sebelum melakukan transaksi benturan kepentingan.
Keharusan persetujuan pemegang saham dipertegas dengan POJK No.42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan.
BACA JUGA:Progres Belungguk Point Sudah 50 Persen, Siap Jadi Ikon Baru Kota
BACA JUGA:Penertiban PKL Pasar Minggu Memanas, Pedagang Terluka dan Protes ke Satpol PP
Dalam benturan kepentingan itu menguntungkan, maka keuntungan yang diberikan oleh direksi terhadap perusahaan atas transaksi benturan kepentingan yang dilakukan, dapat membebaskannya dari pelanggaran atas larangan transaksi tersebut.
Kesimpulannya, hadirnya BJR memberikan manfaat berupa perlindungan bagi manajemen atas keputusan yang ternyata merugikan perusahaan apabila direktur atau komisaris dapat membuktikan bahwa tindakannya telah sesuai dengan parameter yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU Perseroan Terbatas. Kelihatannya NKRI perlu UU Khusus.
DISKRESI
Pengertian dan Konsep Dasar Diskresi
Dalam konteks administrasi pemerintahan, istilah diskresi merujuk pada kewenangan atau kebebasan pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan ketika peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap/tidak jelas, atau dalam kondisi ada stagnasi pemerintahan.
Dengan demikian, diskresi bukan berarti kebebasan tanpa batas — melainkan ruang fleksibilitas bagi pejabat untuk menangani permasalahan konkret yang tidak secara spesifik diatur oleh hukum.
Dalam literatur hukum administrasi negara, diskresi sering dianggap sebagai “komplementer” terhadap asas legalitas (wetmatigheid van bestuur), karena hukum tidak mungkin mengatur segala kemungkinan tindakan pemerintahan.
Dasar Hukum Diskresi tersebut dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP)
Dasar normative utama pengaturan diskresi di Indonesia adalah UU AP 2014. Beberapa poin penting dapat kita lihat pada Pasal 1 angka (9) UU AP mendefinisikan diskresi secara formal: “Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


