Perkosa 12 Santriwati, 7 Hamil, Melahirkan 9 Anak, Dua Masih di Kandungan
JAKARTA, rakyatbengkulu.com - Nasib memilukan dialami 12 santriwati Pesantren Tahfidz Quran Almadani, Cibiru, Bandung Jawa Barat. Mereka nyantri untuk menjadi penghafal Alquran, malah jadi korban pelampiasan nafsu HW (36), guru sekaligus pengasuh pesantren.
Kasus yang mengegerkan masyarakat ini terungkap dari laporan kasus pencabulan anak di bawah umur di Polda Jawa Barat pada Mei 2021 lalu. Polisi berhasil membongkar kejahatan HW dalam proses pengembangannya. Diketahui juga kasus pemerkosaan berlangsung sejak 2016 lalu. Lokasi pemerintah mulai dari kantor yayasan, pondok pesantren, apartemen, dan sejumlah hotel di kota kembang.
Meskipun menjadi perhatian masyarakat, petinggi Kementerian Agama (Kemenag) belum ada yang bersuara. Menag Yaqut Cholil Qoumas dan Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi belum berkomentar soal kasus ini.
Plt Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Thobib Al-Asyhar mengatakan pelaku merupakan pimpinan Pesantren Manarul Huda Antapani Bandung. Untuk pesantren ini, memiki Izin Operasional Pondok Pesantren dari Kemenag. Selain itu pelaku juga pengasuh pesantren Tahfidz Quran Almadani Cibiru Bandung.
"Pesantren Tahfidz Quran Almadani Cibiru tidak memiliki IJOP (izin operasional pesantren, Red)," kata Thobib. Dia mengatakan santriwati yang menjadi korban adalah santri di Pesantren Tahfidz Quran Almadani Cibiru. Saat ini seluruh santri di pesantren ini sudah dipindahkan ke madrasah lain. Selain itu seluruh kegiatan belajar dan mengajar (KBM) sudah dihentikan.
Thobib mengatakan total santri di pesantren Tahfidz Quran Almadani Cibiru berjumlah 36 orang. Pesantren yang khusus menghafal Al-Qur'an ini berdiri sejak 2016 lalu. Ini berarti pelaku melakukan pemerkosaan sejak awal-awal pesantren berdiri. Dia mengatakan jajaran Kanwil Kemenag Jawa Barat bersama Polda Jawa Barat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerjasama melakukan pendampingan kepada para korban.
Menurut Thobib meskipun pengasuhnya terjerat kasus pemerkosaan, izin operasional pesantren Manarul Huda Antapani belum dicabut. Sebab harus sesuai prosedur menunggu hasil persidangan.
Pada prinsipnya Thobib mengatakan Kemenag menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwenang yang telah menjadi ranah hukum. Pasalnya setiap warga negara memiliki hak mendapatkan perlindungan dari negara. Dia menegaskan Kemenag, dalam hal ini Kanwil Kemenag Jawa Barat, ikut terlibat dalam penanganan kasus yang terbongkar sejak sekitar enam bulan lalu itu.
"Diantara penanganannya, bersama Polda Jabar sepakat untuk menutup atau membekukan kegiatan belajar mengajar di Pesantren Tahfidz tersebut," jelasnya. Sampai sekarang tidak difungsikan sebagai tempat atau sarana pendidikan. Baik itu pesantren maupun pendidikan kesetaraannya.
Kemudian dari kesepakatan bersama, seluruh siswa dikembalikan ke daerah asal siswa. Kemudian layanan pendidikannya dilanjutkan ke madrasah atau sekolah sesuai jenjangnya yang ada di daerah masing-masing. Lalu siswa yang menjadi korban dengan difasilitasi oleh Kasi Pontren dan Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan (FKPPS) di daerah masing-masing. Kemenag juga berkoordinasi soal status ijazah para santriwati.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar meminta Pemerintah Daerah Jawa Barat memberi atensi lebih. Itu penting lantaran para korban masih di bawah umur. ”Contohnya masalah pendidikan, tentunya kebutuhan tersebut perlu diperhatikan,” terang Livia.
Instansinya, lanjut dia, ingin memastikan bahwa seluruh korban tetap mendapat hak untuk melanjutkan dan meneruskan sekolah. Di samping hak, dia menilai sejak awal para korban masuk pesantren untuk belajar. Sehingga niatan itu harus terus dijaga. Dia tidak ingin mereka putus sekolah akibat kasus tersebut. Dorongan itu juga disampaikan oleh LPSK lantaran mereka mendapati ada korban yang ditolak masuk sekolah.
Karena itu, Livia menyatakan, perlu upaya khusus dari Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk memastikan para korban tidak ditolak masuk sekolah. Pihaknya tidak ingin para korban mendapat stigma negatif dari masyarakat. Sebaliknya, mereka butuh dukungan penuh dari masyarakat. ”Stigmatisasi tentunya berdampak buruk bagi korban, ini yang harus senantiasa kita hindari,” kata dia. Untuk itu, dia berharap besar kerahasiaan identitas para korban tetap terjaga.
Lebih lanjut, Livia menyatakan, anak-anak yang telah dilahirkan oleh para korban juga wajib mendapat perhatian dari pemerintah. Tumbuh kembang mereka, kata dia, harus dipastikan berjalan baik. Mengingat mereka lahir dari ibu yang usianya masih di bawah umur dan belum siap menjadi orang tua. Bahkan ada pula yang berasal dari keluarga tidak mampu. ”Tentunya perlu perhatian pula dari kita semua,” jelasnya. Dia pun memastikan, instansinya terus memantau persidangan dalam perkara tersebut.
Livia menyebut, saat ini ada 29 orang yang berada dalam perlindungan LPSK. Dari angka tersebut, 12 diantaranya anak di bawah umur. Mereka terdiri atas pelapor, saksi, dan korban. ”Kami berharap putusan dari majelis hakim bisa memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku di satu sisi, dan di sisi lain memberikan keadilan kepada korban termasuk kemungkinan korban mendapatkan restitusi atau ganti rugi,” bebernya.
Terpisah, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Susanto Ginting mengungkapkan bahwa instansinya turut mengikuti perkembangan sidang tersebut. Meski tidak ada laporan atau permohonan pemantauan, mereka tetap mengambil inisiatif. ”Dengan mempertimbangkan pentingnya perkara ini, bukan tidak mungkin KY akan melakukan pemantauan dengan inisiatif sendiri tanpa adanya permohonan pemantauan,” jelas Miko. (wan/syn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: