Persoalan Jalan dan Tonase Angkutan Disorot Dewan
BENGKULU, rakyatbengkulu.com - Terkait persoalan jalan dan tonase angkutan, yang diindikasikan jadi penyebab utama rusaknya jalan, baik di jalan Provinsi, nasional, maupun kabupaten kota, Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu ikut menyoroti persoalan ini.
Menurut anggota Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu, Tantawi Dali, tidak hanya disoroti tentang tonase truk angkutan saja. Namun, juga perlu diperhatikan berkenaan dengan status jalan, yang kemudian dijadikan jalan nasional. BACA JUGA: Tanpa Saluran Pembuangan: Saat Hujan Jalan P Natadirja Layaknya Danau
Misalnya, di Bengkulu Utara, ada jalan Urai-Serangai, yang dulunya merupakan jalan nasional. Pasalnya, hal ini berkenaan kerusakan jalan lintas barat (Jalinbar) link Batik Nau-Ketahun tepatnya di Dusun 3 Desa Giri Kencana.
"Jalan itukan jalan kabupaten dijadikan jalan nasional. Maka jalan yang lama itu harus ada status, jangan yang ini ditinggalkan dengan statusnya yang gak jelas. Tiba-tiba jadi jalan nasional, contohnya jalan batik Nau, yang sekarang jadi jalan nasional,” kata Tantawi.
Dijelaskannya, jalan nasional Batik Nau-Ketahun yang dulunya merupakan jalan kabupaten, maka ketika Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) mengalihkan menjadi jalan nasional. Sehingga diperlukan pembangunannya yang menyesuaikan standar jalan nasional.
Di mana, standar yang dimaksud tentunya harus dimulai dari pembangunan Lapisan Pondasi Bawah (LPB) hingga Lapisan Pondasi Atas (LPA).
“Tentu, berbeda kalau saat jadi jalan kabupaten tentu LBB, LPA tidak sama dengan jalan nasional. Kalau pun sekarang rusak, ya saya rasa wajar karena LBB nya itu jalan kabupaten. Kalau memang dia pindah ke jalan nasional, harusnya itu status nya dibuat dulu.
Apakah, dia jalan provinsi, atau kabupaten. Sehingga ini jadi alternatif, apabila jalan hancur, jembatan putus, maka mereka bisa lewat jalan yang itu baik kendaraan umum maupun angkutan,” sampainya.
Kelas 3
Menurutnya, tidak bisa semuanya kesalahan atas kerusakan jalan ditujukan dengan adanya angkutan batubara dan hasil bumi lainnya. Diinduksi memiliki muatan yang melebihi tonase. Untuk kelas jalan Bengkulu, masih jalan kelas 3, maksimal angkutan nya 8 tons. BACA JUGA: BPK Sayangkan Ada 1.241 Perjalanan Dinas Dewan Provinsi di Tengah Pandemi, Nilainya Rp 28.9 Miliar
“Orang kan banyak yang menyalahkan batubara, dan sejenisnya. La memang barang ini mau diangkut pakai apa. Sah-sah saja yang penting kontribusi. Perusahaan perusahaan itu ada kontribusi ke daerah, maka itu jelas.
Kalau pun itu rusak karena angkutan itu maka saya rasa memang kelas jalan itu tidak standar. Tonase kan bukan wewenang kita. Itu pengawasan nya dari pihak lain. Kami tidak ada mengawasi jalan.
Mungkin jembatan itu bisa saja kurang standar. Jembatan itukan di bangun oleh balai. Bukan oleh kabupaten maupun provinsi. Jadi masyarakat jangan salah menyalakan. Maka standar jalan itu harus jelas. Kalau dia mau dialihkan jadi jalan nasional. Bukan dia nimbun material baru, " ungkap Tantawi.
Di sisi lain, ia menyayangkan jalan Urai-Serangai yang memiliki standar jalan nasional, mulai dari LPB dan LPA-nya malah ditinggalkan begitu saja, serta statusnya juga tidak jelas. “Jalan nasional yang lama itu dibangun, setidak-tidaknya bisa menjadi alternatif. Begitu juga terhadap lantai jembatan yang lantainya ambrol,” tukas Tantawi. BACA JUGA: Tunggakan Rp 2 Miliar, Distribusi Air Macet
Senada dengan itu, anggota Komisi III DPRD Provinsi lainnya, Muhammad Gustiadi menjelaskan jika melihat dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Yang bekas jalan nasional diambil alih Pemprov dan dibangun terlebih dahulu. Setelah dibangun barulah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab).
“Apalagi pada ruas jalan Urai-Serangai itu terdapat 6 desa yang sudah barang tentu ada penduduknya. Logika saja, penduduk disana berhak mendapatkan yang namanya pembangunan. Makanya terkait status jalan ini Pemprov melalui PUPR dapat segera bersikap," pintanya. (war)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: