Siaran Omni
Perangkat tv digital, STB yang mesti dimiliki. Foto: IST rb--
Kelak di tahun 2015 Imawan lulus S-2 hukum dengan tesis perlawanannya itu.
Digitalisasi siaran juga ditentang oleh pemilik stasiun TV besar –seperti Harry Tanoesoedibjo, pemilik RCTI Group.
Lobi mereka kuat sekali. Kalau digitalisasi itu terjadi akan banyak sekali stasiun TV. Bisa lebih dari 100 channel.
Pemasang iklan akan terbagi ke begitu banyak TV. Itu bisa mengancam pendapatan mereka dari iklan.
Maka sampai pun lebih 15 tahun digitalisasi penyiaran belum bisa terlaksana.
Digitalisasi TV Terestrial itu, ujar Prof Dr Henri Subiakto sudah direncanakan sejak 2007.
Izinnya mulai dilelang tahun 2012. Tapi proses itu mandek sejak 2015. Akibat gugatan tadi.
Peraturan menterinya dibatalkan Mahkamah Agung. Dalam putusan MA disebutkan analog swicth-off hanya boleh dilanjutkan apabila normanya diatur dalam UU.
Lalu datanglah Omnibus Law. Yang heboh itu.
Yang pengesahannya dilakukan Presiden Jokowi tanggal 2 November 2020. UU Cipta Kerja itu –nama resmi Omnibus Law– mengatur juga siaran televisi.
Ada pasal 60. Yakni di bagian yang mengatur Pos dan Telekomunikasi.
"Di situ diatur tentang analog switch-off dilakukan paling lambat 2 tahun setelah UU ini berlaku," ujar Prof Henri Subiakto, staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika. Berarti 2 November depan.
Kenapa harus dilakukan digitalisasi? Agar kualitas siaran dan gambarnya bisa lebih cling?
Itu jelas. Tapi bukan yang utama. "Siaran TV analog itu boros sekali frekuensi," ujar Prof Subiakto, guru besar Unair itu. Negara harus melakukan efisiensi frekuensi.
Itulah yang dilakukan Johnny yang sudah pandai berbahasa Inggris sejak di SMP dan SMA di Ruteng, Flores. Ia beruntung guru bahasa Inggrisnya orang bule dari Australia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: