Good Perfect
Oleh : Dahlan Iskan--
Oleh: Dahlan Iskan
SKORNYA berubah dari 20-1 menjadi 19-0. Akhirnya terjadilah yang kita harapkan tidak terjadi: Menlu Rusia walk out. Sergey Lavrov meninggalkan ruangan.
Pertemuan Menlu G20 di Hotel Mulia, Nusa Dua, Bali, Kamis lalu itu pun menjadi monoton.
Indonesia sebenarnya realistis. Tidak harus mencapai kesepakatan. Terlalu sulit. Yang penting, jangan sampai ada yang walk out.
Harapan minimal itu pun tidak bisa terpenuhi.
Ada filosofi mendasar mengenai sikap negara-negara Barat seperti itu: perfect. Filsafat itu digambarkan dengan sangat baik oleh Prof Kishore Mahbubani dari Singapura.
Di mata Barat, segala sesuatu itu harus perfect. ”Baik” belum cukup bagi Barat. Harus ”perfect”.
”Akhirnya ’perfect’ menjadi musuh bagi ’baik’,” tulisnya dalam sebuah artikel menjelang pertemuan Bali itu.
”Perfect” yang dimaksud Barat kelihatannya adalah: Rusia harus kalah, menghentikan perang, mundur dari Ukraina, NATO terus diperluas sampai Ukraina, Swedia, Finlandia.
”Good” adalah gencatan senjata, harga energi turun, pabrik pupuk bisa berproduksi, petani kembali menghasilkan bahan pangan, dan dunia tidak terancam kelaparan.
”Bad” adalah perang berkelanjutan –apalagi dengan irama slow seperti sekarang ini.
”Worst” adalah perang nuklir.
Mungkin memang sulit bagi Barat untuk belajar menjalani hidup yang tidak sempurna. Kita bersyukur sudah terbiasa menjalani yang serbakurang:
makan sekadarnya, naik kendaraan umum apa yang tersedia, dan bisa menerima suami apa adanya. Sampai mati sendiri.
Pertanyaannyi –meminjam istilah pelawak Tukul Arwana– ”Kalau memang Barat mau perfect seperti itu, mengapa tidak serius mengalahkan Rusia,” kata Mahbubani.
Cak Lontong pun tidak berhak menjawab itu. Mahbubani sendiri yang menjawab, ”Itu tidak mungkin.”
Kalau itu dilakukan, yang terjadi adalah seperti yang digambarkan di sebuah lagu dangdut yang akan datang: ”the perfect yang dikejar, the worst yang didapat”.
Sebenarnya Barat pernah menerima ketidak-perfect-kan di masa yang tidak terlalu nan silam: Krimea. Barat membiarkan Krimea diduduki Rusia sejak 2014.
Apakah berarti Barat juga harus menerima dua provinsi bagian timur Ukraina merdeka?
Tidak harus begitu. Itulah perlunya perundingan. Kontak. Bertemu. Jangan walk out dan jangan membuat ada pihak yang walk out.
Setidaknya belajarlah mulai mendengar. Terutama mendengar curhatan Indonesia dan India dan negara yang bukan anggota G20 seperti Sri Lanka.
Penduduk negara Barat itu, kata Mahbubani, jumlahnya hanya 18 persen. Selebihnya masih 82 persen. Apakah suara yang 82 persen itu tidak perlu didengar.
India, misalnya, sangat ingin didengar. Negara itu tidak cukup punya sumber energi. Lebih lagi Pakistan. India terpaksa impor minyak dari Rusia.
Barat mengecam dan mempersalahkan India. Padahal itu, bagi India, menyangkut hidup dan mati 1,5 miliar manusia.
”Nilai migas yang kami impor dari Rusia itu, selama sebulan, hanya sama dengan impor Eropa dari Rusia satu petang,” ujar Menlu India.
Berarti, Barat sendiri sebenarnya juga jadi korban. Bukan korban perang, melainkan korban sanksi yang mereka jatuhkan sendiri ke Rusia.
Tentu korban perang juga. Tanpa serangan Rusia, sanksi itu tidak dikenakan. Kata Rusia: serangan itu tidak akan ada kalau Barat tidak memproses penerimaan Ukraina sebagai anggota NATO.
Kini inflasi di Barat gila-gilaan. Rakyat mereka mulai tidak puas –apalagi kalau perang berkepanjangan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terpaksa kehilangan jabatan.
Mantan PM Jepang Shinzo Abe tewas ditembak di negeri yang begitu aman. Justru pemimpin di Timur yang sakti: Gotapala Rajapaksa di Sri Lanka itu.
Sebenarnya Menlu Rusia mau datang ke Bali saja sudah maju. Demikian juga Menlu Amerika Serikat. Tapi, usaha untuk mempertemukan keduanya sambil ngopi-ngopi Bali tidak berhasil.
Akhirnya pertemuan itu sangat formal. Di ruang rapat. Panas di luar pun dibawa masuk. Tidak ada proses pendinginan emosi sebelum rapat formal dilakukan.
Sampai pun di teras ruang pertemuan. Suhunya justru dinaikkan. Oleh wartawan. Atau oleh orang yang berada di kerumunan wartawan di depan teras itu.
Saat itu tuan rumah, Menlu Indonesia Retno Marsudi, menyambut semua tamu yang akan masuk ruang rapat.
Giliran yang datang Menlu Rusia yang tinggi itu, teriakan datang dari kerumunan. Ketika siap menyalami tuan rumah, Lavrov sempat menengok ke teriakan tersebut.
Dengan wajah tanpa senyum. Rupanya, ia langsung ingat tuan rumah yang sudah siap mengulurkan tangan tadi. Tidak ia tanggapi teriakan itu. Ia salami Retno. Lalu, masuk ruang rapat.
Retno menyayangkan teriakan tersebut. ”Harusnya ajukan saja pertanyaan waktu doorstop,” ujarnyi.
Saya pun mencari video di sekitar peristiwa itu. Saya ingin tahu: itu teriakan atau pertanyaan.
Kesimpulan saya: itu pertanyaan.
”Why did you start the war?” Hanya, nada kalimatnya memang seperti teriakan. Terutama ketika ia mengulangi pertanyaan itu untuk kali kedua. Nada tersebut ia turunkan kembali ketika mengulangi untuk kali ketiga.
Posisi kerumunan wartawan itu memang terlalu dekat. Seharusnya memang hanya wartawan foto yang diizinkan untuk di momen tersebut.
Yang dilengkapi kamera berlensa tele. Wartawan tulis di momen berikutnya.
Saya jadi ingat peristiwa peliputan ulang tahun kembalinya Hong Kong ke Tiongkok 1 Juli lalu. Yakni, saat Presiden Xi Jinping tiba.
Wartawan foto dilarang membawa payung. Padahal, lagi hujan. Tanpa alasan. Anda tahu kira-kira mengapa?
Agar jangan terlihat ada foto di media begitu banyak payung di depan Presiden Xi.
Anda sudah tahu artinya: jangan dikira ada demo. Simbol gerakan demo anti-Tiongkok di Hong Kong adalah payung.
Begitulah mengatur wartawan.
Momentum pertemuan para Menlu G20 pun berlalu. Pertemuan itu penting agar KTT G20 nanti sukses. Semua bahan dan putusan KTT dirumuskan para Menlu.
Kini waktunya tinggal 3,5 bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Kemarin dulu hari raya Iduladha. Besoknya sudah Iduladha lagi.
KTT G20 Bali tinggal pertengahan November.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: