
BACA JUGA:Gunung Semeru Kembali Erupsi: Enam Kali Letusan, Warga Diminta Waspada!
Kasus ini bermula dari pembahasan Rancangan APBD Kabupaten OKU pada Januari 2025. Dalam pembahasan tersebut, beberapa perwakilan DPRD menemui pemerintah daerah dan meminta jatah Pokir (pokok-pokok pikiran DPRD) untuk pengadaan barang dan jasa.
“Kemudian disepakati jatah Pokir itu berubah menjadi proyek fisik di Dinas PUPR,” jelas Setyo.
Hasil kesepakatan tersebut menghasilkan alokasi proyek bagi ketua, wakil ketua, maupun anggota DPRD dengan nilai proyek yang berbeda-beda.
Meskipun ada perubahan nilai, mereka sepakat bahwa fee proyek tetap sebesar 20 persen, dengan total nilai mencapai sekitar Rp7 miliar.
Setelah APBD 2025 disahkan, anggaran Dinas PUPR meningkat signifikan, dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar.
Kenaikan anggaran ini dikaitkan dengan alokasi dana untuk sembilan proyek yang dikelola oleh Dinas PUPR, termasuk:
BACA JUGA:Antisipasi Balap Liar Menjelang Magrib, Polsek Talo Gencarkan Patroli
BACA JUGA:Perayaan Ulang Tahun dalam Islam: Bolehkan atau Justru Haram? Simak Pendapat Ulama!
• Rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati
• Perbaikan jalan dan jembatan
• Pembangunan Kantor Dinas PUPR
Proyek-proyek tersebut kemudian ditawarkan oleh Kepala Dinas PUPR kepada dua pihak swasta, yakni MFZ dan ASS.
Kedua pihak swasta ini kemudian menggunakan perusahaan lain atau “pinjam bendera” sebagai kedok untuk melaksanakan proyek tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai perusahaan cangkang ini diketahui berlokasi di Lampung.
OTT dan Barang Bukti Rp2,6 Miliar