HONDA

Persoalan PJJ di Tengah Pandemi Covid-19, Delapan dari 10 Anak Tidak Bisa Akses Bahan Ajar Memadai

Persoalan PJJ di Tengah Pandemi Covid-19, Delapan dari 10 Anak Tidak Bisa Akses Bahan Ajar Memadai

JAKARTA – Sekitar setahun berjalan, proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemic Covid-19 tidak mengalami perkembangan signifikan. Seperti yang diungkap oleh Save The Children Indonesia. Diantaranya adalah delapan dari sepuluh anak tidak bisa mengakses bahan ajar memadai selama menjalani PJJ.

Selama pandemic Covid-19 diperkirakan lebih dari 600 ribu sekolah di Indonesia harus tutup. Dampaknya 60 juta siswa menjalani PJJ atau belajar dari rumah. Meskipun di daerah tertentu sekolah tatap muka di kelas boleh dibuka kembali, tetapi sebagian besar siswa masih PJJ secara online maupun offline.

CEO Save The Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan Global Save The Children sudah melakukan studi di 46 negara, khususnya Indonesia. Hasil studi tersebut mengindikasikan terdapat delapan dari sepuluh anak tidak bisa mengakses bahan pembelajaran yang memadai.

’’Lalu empat dari sepuluh anak kesulitan memahami pekerjaan rumah. Dan fakta bahwa minimal satu persen anak tidak belajar apapun selama PJJ,’’ jelasnya kemarin (14/3). Menurut dia tahun 2021 ini menjadi tahun yang menentukan. Apakah anak-anak tetap mendapatkan akses belajar berkualitas atau tidak. Sebab menurut dia pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi.

Dia mengakui penerapan PJJ bukan hal yang mudah. Anak, guru, dan orang tua menghadapi sejumlah tantangan. Seperti terbatasnya materi, alat, akses ke pembelajaran dan pengajaran, serta infrastruktur yang tidak merata. Infrastruktur itu meliputi akses internet dan listrik.

Selina menuturkan pandemi Covid-19 yang berakibat sekolah tatap muka terhenti muncul tiba-tiba. Sebelumnya tidak ada persiapan sama sekali bagi sebagian besar guru untuk menjalankan pembelajaran secara jarak jauh. Kondisi membuat masalah tersendiri dalam pelaksanaan PJJ. Kemudian kapasitas orang tua serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri berbeda-beda.

Persoalan dalam pelaksanaan PJJ itu menimbulkan dampak terhadap pendidikan di Indonesia. Seperti menurunnya motivasi belajar anak. Bahkan motivasi untuk kembali belajar di sekolah juga berpotensi menurun. Lalu terjadi penurunan kemampuan literasi dan numerasi. Belum lagi ada ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja atau menikah dini. Kualitas pendidikan yang menurun ini dapat memengaruhi kesempatan peserta didik mengakses pendidikan tinggi atau pekerjaan di masa depan.

Untuk mengatasi persoalan pelaksanaan PJJ itu, Save The Children Indonesia menyatakan perlu penguatan resiliensi atau beradaptasi dan bertahan, serta inovasi proses pembelajaran. Sehingga memastikan anak tetap belajar dengan kualitas yang terjamin. Proses pembelajaran bisa memadukan kegiatan tatap muka serta online atau disebut hybrid. Perlu ada dukungan program peningkatan kompetensi guru dari pihak sekolah, pemerintah daerah, sampai tingkat pusat.

Perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save The Children Indonesia Stella mengatakan teman-temannya yang tinggal di desa susah untuk mendapatkan sinyal internet. ’’Dan banyak sekali dari mereka tidak punya HP. Jadi kadang sama sekali tidak belajar,’’ kata anak 15 tahun asal NTT itu.

Sementara itu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan dalam dunia yang berubah dengan cepat, maka kreativitas dan inovasi adalah kunci. Perguruan Tinggi menurutnya harus menjawab tantangan ini. ”Kita tidak boleh terjebak dengan cara biasa-biasa saja,” ucapnya.

Lebih lanjut, Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan saat ini pasar tenaga kerja juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Banyak jenis pekerjaan lama yang hilang dan tidak dibutuhkan. ”Ini membutuhkan perubahan program studi, kurikulum, dan karakter dosen,” ujarnya.

Perubahan ini didasari berbagai hal. Revolusi industri jilid ke-4 telah membuat ilmu dan teknologi harus terus diperbaiki. Tak hanya itu, teori manajemen, organisasi, dan model bisnis menurut Jokowi juga banyak berubah pada revolusi industri ke-4 ini. ”Agenda riset pun harus banyak melakukan perubahan-perubahan,” tuturnya.

Adanya pandemi Covid-19, imbuh Kepala Negara, telah mengajarkan banyak pihak untuk mendobrak cara-cara lama. Hal-hal yang dahulu dianggap tabu sekarang menjadi cara hidup baru. Digitalisasi yang dulu sulit diperkenalkan, sekarang dilakukan oleh semua institusi harus dilakukan. ”Cara-cara penganggaran harus diubah. Program-program kerja baru harus diperkenalkan,” tegasnya.

Jokowi menyadari, bagi para pelaku startup cara-cara baru sudah menjadi landasan kerja sejak awal. Namun, bagi institusi yang sudah berusia puluhan tahun seringkali tidak mudah untuk memperkenalkan cara baru. Inilah yang seharusnya menjadi tantangan bagi seluruh pihak. (wan/lyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: