HONDA

Kerajinan Tangan Ramah Lingkungan, Dosen MIPA Unib Kenalkan Teknik Ecoprint untuk Masyarakat

Kerajinan Tangan Ramah Lingkungan, Dosen MIPA Unib Kenalkan Teknik Ecoprint untuk Masyarakat

 

Aneka tumbuhan yang hidup di sekitar kita, memberikan begitu banyak manfaat. Apalagi jika kita mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi. Di tangan terampil, tumbuhan yang biasanya dibiarkan begitu saja dapat menghasilkan produk kerajinan ecoprint.

KOMI KENDY, Rakyat Bengkulu

DUK, duk, duk.” Hentakan palu kayu dengan penuh perasaan menekan sehelai plastik bening di atas daun pepaya Jepang. Hentakannya pelan, tapi berenergi dan merata. Daun itu sudah tertata di sebuah kain tote bag (tas). Perlahan, cairan hijau yang keluar dari daun mulai merembes keluar. Melekat di kain tas berwarna putih.

Setelah pola dan warna daun sudah ter-cap dengan sempurna, 11 perempuan yang terdiri dari guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Haqiqi dan ada juga dari PAUD lainnya itu, tampak mengambil daun lainnya. Bentuknya terlihat lebih kecil. Daun itu ditata di atas bagian tas yang masih kosong. Kali ini warnanya kecokelatan.

Masing-masing orang tampak telaten menata letak dan memukul daun. Setelah 15 menit, daun dilepaskan dari kain. Kain ini nantinya dianginkan dan didiamkan selama satu hingga tiga hari hingga warnanya benar-benar melekat.

Sebagai proses lanjutan, kain yang sudah selesai diprint dibilas dengan air tawas. Tanpa diperas, jemur dengan cara diangin-anginkan hingga kering. Setelah kering rendam kembali dengan tawas sebagai fiksasi selama satu jam agar warna tidak luntur. Kemudian diangin-anginkan kembali hingga kering.

Teknik Pounding pada Ecoprint

Teknik memukul daun pada ecoprint disebut dengan pounding (pemukulan). Pounding merupakan teknik paling sederhana dan mudah dipelajari dalam membuat kerajinan ecoprint.

“Ada dua teknik lainnya. Perebusan (boiling) dan kukus (steaming). Keduanya memerlukan proses lebih lanjut. Yang kami sampaikan pada kegiatan pengabdian ini hanya teknik pounding,” kata Dra. Dra. Steffanie Nurliana, MS, MM, dosen Bidang Kultur Jaringan Tumbuhan, Fisiologi Tumbuhan, Biologi Molekuler Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Bengkulu.

Teknik pounding tersebut diterapkan pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di PAUD Haqiqi Kelurahan Pematang Gubernur Kecamatan Muara Bangkahulu. Kegiatan pada Selasa, 29 Juni 2021 lalu dilakukan bersama dua tim dosen lainnya, Drs. Hery Haryanto, M.Sc dan Drs. Syariffudin, M.Si. Lalu ada pula dua mahasiswa Fetri Rahma Widowati dan Rimala Erisa.

Apa itu Ecoprint?

Mengutip dari proposal penelitian yang ditulis Steffanie, ecoprint berasal dari kata eco dan print. Eco  merupakan penggalan dari kata lain ecology dan ecosystem yang masih digunakan oleh banyak orang sejak kesadaran lingkungan meningkat, untuk menunjukkan keterkaitan suatu aktivitas dengan keselamatan lingkungan (Wali, 1995). Sementara print berarti pencetakan.

Jadi ecoprint merupakan sebuah proses pencetakan dari bahan alami yang ramah lingkungan (Budiawan, 2020).

Sudah tiga tahun terakhir Steffanie mempelajari tentang ecoprint. Ia belajar dari berbagai mentor di Pulau Jawa. Setelah terampil, Steffanie mulai aktif membagi pengetahuannya kepada mahasiswa saat mengampu mata kuliah Kewirausahaan. Selain itu pengetahuan tentang ecoprint juga dibagikan kepada kelompok masyarakat melalui program pengabdian.

“Awalnya  saya belajar dari teman satu almamater di UGM (Universitas Gadjah Mada) melalui media sosial. Sekitar tahun 2018. Sejak itu saya terus mencari informasi dan belajar tentang ecoprint. Termasuk dari Asosiasi Eco Printer Indonesia (AEPI),” ujar Steffanie.

Teknik pounding yang sudah dipraktikan murni menggunakan zat warna alami. Tanpa zat warna sintetis. Selain pada kain, ecoprint juga bisa dicetak pada keramik, kertas, kulit kayu dan lain-lain. Untuk tingkat kesulitan teknik pounding lebih pada teknik memukulkan palu kayu di atas daun.

“Pukulannya mesti konsisten. Kalau terlalu pelan, tidak ada jejak daun yang terlihat pada kain. Tapi terlalu kencang juga tidak baik. Warnanya akan meleber. Bentuknya jadi kurang cantik,” tutur Steffanie.

Mengerjakan kerajinan ecoprint dengan teknik pounding, ada beberapa yang perlu disiapkan. Diantaranya kain yang sudah dimordanting (melalui proses pencelupan, sehingga kain bisa menerima zat warna lain dengan baik). Lalu daun/ bunga segar atau yang sudah difermentasi, meja atau lantai, plastik bening dan palu kayu atau karet.

Daunnya, jelas Steffanie, bisa beraneka ragam. Namun yang paling menjadi primadona adalah daun jati. “Daun jati kalau di-ecoprint pada media apapun, jejak daunnya mudah tercetak jelas dan kuat warnanya,” ungkapnya.

Selain daun jati dan pepaya jepang, jenis lainnya yang biasa digunakan untuk ecoprint antara lain daun bandotan/ morenggo (Ageratum conyzoides), daun miana, daun ubi kayu, daun insulin, daun jarak merah, daun/ bunga kenikir, daun/ bunga cosmos.

Sementara dari segi kain, paling baik menurut Steffanie adalah kain sutera. Kelebihan jenis kain ini, jika di-ecoprint akan lebih mudah tercetak jelas jejak daunnya. Namun penggiat kerajinan ecoprint justru biasanya lebih tertantang saat mencetak diatas kain kanvas, linen dan katun.

Steffanie berharap keterampilan ecoprint menjadi ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat penggiat kerajinan. Kerajinan ecoprint memiliki nilai ekonomis. Sudah terbukti. Dengan modal yang tidak terlalu besar, kerajinan ecoprint bisa dijual dengan harga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.

Bagi Steffanie sendiri, hasil kerajinan yang dia buat bukan untuk dipasarkan sebagai usaha pribadi. Sebagai dosen, fokusnya lebih pada keinginan besar untuk mengajari orang lain. Ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ada proses pengajaran, penelitian dan pengabdian. Sehingga ilmu yang ia memiliki membawa manfaat bagi masyarakat. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: