Biiznillah (33), Dosen Muda Penulis Sengketa Tuhan dan Kebenaran
Salah satu intelektual muda Islam dari Bengkulu, Biiznillah, MA yang juga merupakan dosen di UINFAS Bengkulu. foto:dok rb--
Biiznillah, MA, merupakan salah satu intelektual muda Islam dari Bengkulu. Banyak lika-liku kehidupan yang dilalui pria yang berprofesi Dosen Luar Biasa ini. Bahkan pernah dua kali mendapat beasiswa kuliah di Iran, namun batal dijalaninya. Bagaimana kisahnya, simak liputannya.
BIIZ, demikian ia disapa. Ia tercatat sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Tarbiyah dan Tadris Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Islam Negeri Fatmawati Soekarno (UINFAS) dari 2019 lalu.
Kecintaannya pada ilmu filsafat, pemikiran, pergerakan dan juga sains telah membuat pria kelahiran Liwa, 10 Agustus 1989 ini, mampu mengenyam pendidikan hingga Strata 2 dengan beasiswa penuh.Biiz lahir di Desa Umbul Baru.
BACA JUGA: Aktivitas Tambang Pasir Besi di Kabupaten Seluma Dihentikan Sementara oleh Gubernur
Sebuah desa kecil di Kecamatan Balik Bukit Kota Liwa Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. SD hingga SMA ditempuhnya di Kota Liwa. Mulai dari SDN 02 lanjut ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 1 Liwa, SMAN 1 Liwa.
Sejak duduk di bangku SMA, anak bungsu dari enam bersaudara ini cukup berbeda dari siswa lainnya. Di usia remaja itu, ia sudah gemar membaca buku-buku filsafat yang ada di perpustakaan sekolah.
Sebenarnya buku itu dibawa oleh Pustakawan bernama Sarinten, lulusan S-1 Sastra Jerman di UI. Jadi saya sering membaca buku-buku filsafat, tentang pemikiran juga novel yang dibawa pustawakan.
Diantaranya yang saya ingat ada buku Agatha Christie tentang detektif, juga buku-buku pemikiran Islam seperti Kanzul Bahri dan buku-bukunya Taufik Ismail,” katanya di Graha Pena RB, (14/6) 2022.
Perpustakaan menjadi andalan satu – satunya bagi Biiz untuk membaca banyak buku agar menambah ilmu pengetahuannya. Sebab, saat itu di desanya terlalu banyak keterbatasan untuk mendapatkan berbagai informasi seputar ilmu filsafat dan sains.
“Liwa bagi saya merupakan suatu wilayah yang terpencil pada saat itu, jauh dari jangkauan teknologi maupun informasi. Kehidupan kita saat itu terbatas kalau kita tidak baca buku.
BACA JUGA: Rekanan Belum juga Lunasi Lebih Bayar
Namun saya menemukan suatu tempat yang di mana saya bisa melihat ruang yang luas melalui buku, yakni di perpustakaan” terang Biiz.Selain itu juga, kakak Biiz yang kuliah di UINFAS bila pulang ke Liwa selalu membawa buku-buku tentang pemikiran dan pergerakan.
Hal ini membuat Biiz semakin tertarik dengan hal-hal yang berbau pemikiran. Selepas SMA tahun 2006, Biiz pun merantau ke Bengkulu, melanjutkan kuliah di UINFAS (saat itu masih bernama STAIN Bengkulu).
Sesampainya di Kota Bengkulu Biiz tinggal di rumah kakaknya yang juga merupakan dosen honorer di UINFAS saat itu. Melihat realitas kehidupan pada saat itu, khususnya karena faktor ekonomi, Biiz memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Tadris.
Selama empat tahun kuliah, berbagai organisasi diikutinya. Ulai dari KAMMI dan aktif di BEM Kampus.
Sempat beberapa kali ikut aksi demo, ia akhirnya memutuskan untuk fokus membuat lingkar kajian ilmiah tentang pemikiran-pemikiran, dan membangun jaringan dengan para mahasiswa yang suka membaca dan menulis.
Ia pun semakin sering menghabiskan waktunya di perpustakaan ataupun membaca buku.
“Selama empat tahun kuliah, menurut saya sudah cukup untuk mengisi pengetahuan akademis. Namun faktanya banyak mahasiswa yang tidak mengisi kesempatan lebih ini untuk membaca buku dan mendalami banyak hal.
BACA JUGA: Mau Daftar Prakerja Gelombang 36? Cek Dulu Kelengkapan Syarat Berikut
Saat kuliah saya sudah tahu Azyumardi Azra itu siapa, pemikirannya apa, pemikiran Halim Basaid dan lainnya, minimal saya tahu tokoh-tokohnya. Ini sangat perlu, bukan sekadar kepentingan tugas baru bersentuhan dengan buku,” jelas Biiz.
Berbekal bacaan – bacaan tentang pemikiran yang digandurinya Biiz mulai berani menuangkan pemikirannya melalui sejumlah artikel. Salah satunya berjudul Revitalisasi Gerakan Mahasiswa yang kemudian terbit di Harian Rakyat Bengkulu pada saat itu.
Tahun 2010, ia berhasil menyandang gelar S.Pd pada tahun 2010.
Setelah kuliah, aktivitas menulisnya tak surut. Biiz pun membuat Novel berjudul Melata. Novel pertama Biiz ini berisi latar belakang kehidupannya dari kecil hingga ia dewasa.
“Karena masih belum terlalu serius menulis, Novel itu tetap terbit namun hanya di digitalisasi dan bisa di akses di Gramedia,” terangnya.
Usai menyandang gelar sarjana, ia sempat menjadi Pustawakan di Duta Zaman di Kota Bengkulu selama delapan bulan. Hingga akhirnya Biiz mendapat informasi beasiswa kuliah Strata 2 (S-2) di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta dengan fokus studi Islam.
Nasib baik berpihak pada Biiz, ia diterima di ICAS Jakarta.
“Saya di Jakarta tinggal selama 7 tahun. 4 tahun kuliah di ICAS dan sisanya saya mengabdi dan sibuk membangun lingkar kajian antar daerah hingga provinsi,” terang Biiz.
Diketahui ICAS juga bekerja sama dengan Universitas Paramadina. Gelar MA akhirnya disandang Biiz pada tahun 2015 dari ICAS Jakarta. Selanjutnya ia kembali mengabdi ke masyarakat dengan membuat lingkar kajian-kajian ilmiah di tengah masyarakat terendah.
Salah satu fokusnya saat itu adalah melatih masyarakar untuk berpikir kritis.
“Saya ingin masyarakat agar kritis terhadap informasi yang mereka terima, sehingga tidak mudah termakan hoax,” imbuhnya.Di tengah kesibukannya itu, kabar baik mendataginya.
Salah seorang doktor merekomendasikannya untuk melanjutkan pendidikan Starta 3 (S-3) ke Iran. Tahun 2017 akhirnya ia berangkat ke Iran. Ada dua kampus pilihan tempat kuliah yakni Universitas Teheran dan Universitas Al-Mustafa.
Namun selama dua bulan di sana ia masih bimbang, hingga akhirnya pulang kembali ke Tanah Air.
Kembali lagi ke Jakarta Biiz semakin tekun membangun jaringan lingkar kajian ilmiah yang semakin berkembang antar provinsi. Diantaranya di Jakarta, Bandung dan Makassar. “Kita sering buat event kajian-kajian ilmiah itu, temanya tentang berupaya berpikir kritis,” sambungnya.
Tahun 2018, Biiz kembali direkomendasikan untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Iran. Tawaran itu ia ambil, dan akhir tahun 2018 ia berangkat ke Iran masih dengan pilihan dua kampus sebelumnya.
Selama dua bulan di Iran ia hanya dikenalkan dengan budaya dan pendidikan di Iran. Namun dua bulan di sana, Biiz kembali bimbang untuk kuliah di Iran dengan berbagai pertimbangan.
“Banyak pertimbangan, mulai dari keluarga, kesehatan dan juga kebebasas berekspresi untuk menuangkan pemikiran di Iran cukup terbatas. Kalau ada kesempatan saya berharap bisa mendapat beasiswa ke Eropa yang lebih terbuka dan bebas mengekspresikan pemikiran ilmiah,” tuturnya.
Akhirnya dengan berat hati, Biiz kembali menyampaikan penolakan secara halus kepada doktor yang menawarkan beasiswa itu dan memilih untuk mengabdi ke Tanah Air.
“Saya tidak bisa sebutkan namanya, hanya saja dia itu doktor. Saya sampaikan kepadanya kalau saya tidak bisa mengambil kesempatan kuliah di Iran dengan berbagai pertimbangan itu,” katanya.
“Dua kali saya berangkat ke Iran untuk melihat – lihat kampusnya, dan pengenalan budaya disana, namun karena banyak pertimbangan seperti keluarga dan suhu disana tidak sesuai dengan saya, saya pulang lagi ke Jakarta,” sampainya.
Pulang dari Iran, dan sempat melanjutkan pengembangan lingkar kajian ilmiah yang didirikannya, ia pun akhirnya memilih untuk mengabdi sebagai Dosen Luar Biasa di UINFAS Bengkulu tahun 2019.
Saat ini, intelektual muda Islam dari Bengkulu ini, akan menerbitkan karya ilmiahnya yang berjudul Logos (Sengketa Tuhan dan Kebenaran).
“Mungkin akan terbit sekitar 3 bulan lagi, mohon doanya rekan – rekan,” katanya.Ia menjelaskan, buku Logos ini berisi tentang kajian-kajian mendasar filsafat, transendensi, kritik terhadap beberapa teori, hingga relativitas moral dan metaetik.
“Di awal buku ini, saya mengelaborasi agar pembaca berfilosofi dengan dirinya, dengan berfilsafat agar pembaca dapat membongkar epistimologi dan memahaminya,” terang Biiz.
Trik untuk pembaca pemula, menurut Biiz, ada beberapa hal yang harus dipastikan terlebih dahulu, seperti menghilangkan rasa takut terhadap pengetahuan – pengetahuan baru dan bebaskan diri dari prasangka.
Jangan pernah takut dengan isi buku yang ingin kita baca, serta bebaskan dahulu diri kita dari prasangka,” demikian Biiz. (M. RIZKI AMANDA LUBIS)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: