Karomah Pelana Kuda Sunan Muria dalam Ritual Panggil Hujan
Dalam ritual panggil hujan, karomah pelana kuda Sunan Muria.--Foto: Facebook.com/SirrulQolby
BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Muria, lahir dengan nama Raden Umar Said atau dikenal sebagai Raden Prawoto, merupakan putera dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh, puteri Maulana Ishak.
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, puteri Sunan Ngudung, dan memiliki putera bernama Pangeran Santri, yang dikenal sebagai Sunan Ngadilangu.
Pilihan Sunan Muria untuk tinggal di daerah terpencil, seperti puncak Gunung Muria bernama Colo, memperlihatkan ketertarikannya untuk menyebarkan agama Islam di lingkungan masyarakat pedesaan.
Di sini, Sunan Muria tidak hanya berinteraksi dengan rakyat jelata, tapi juga mengajarkan keterampilan seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut.
BACA JUGA:Luar Biasa! Ini 7 Keistimewaan Sunan Kalijaga dalam Menyebarkan Ajaran Islam
Uniknya, ia adalah satu-satunya wali yang mempertahankan seni gamelan dan wayang sebagai alat dakwah Islam. Dakwah seninya terwujud dalam tembang Sinom dan Kinanti.
Sunan Muria juga berperan sebagai penengah dalam konflik internal Kesultanan Demak, dikenal sebagai pribadi yang mampu memberikan solusi bagi masalah rumit dengan solusi yang diterima oleh semua pihak.
Wilayah dakwah Sunan Muria meliputi Jepara, Tayu, Juwana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Makam Sunan Muria di Gunung Muria menjadi pusat spiritual masyarakat sebagai penghormatan atas peran dan jasanya.
Salah satu karomah Sunan Muria terkait dengan pelana kuda peninggalannya. Pelana ini menjadi benda suci yang digunakan dalam ritual panggil hujan, dikenal sebagai "guyang cekathak" atau memandikan pelana kuda Sunan Muria.
BACA JUGA:Misteri Keberadaan Makam Sunan Bonang
Ritual ini umumnya dilakukan pada hari Jumat Wage selama musim kemarau.
Ritual dimulai dengan membawa pelana kuda dari Komplek Masjid Muria ke mata air Sedang Rejoso di Bukit Muria. Di sana, pelana dicuci, dan airnya dipercikkan kepada warga sebagai simbol permohonan hujan.
Setelah mencuci pelana, dilanjutkan dengan membaca doa dan salat minta hujan (Istisqa), diakhiri dengan makan bersama, termasuk lauk-pauk seperti sayuran, opor ayam, dan gulai kambing.
Makanan penutupnya adalah dawet, mewakili lambannya hujan seperti butiran dawet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: