17 Keluarga Tabot Penja Tuntut Keadilan, Tolak Pemindahan Lokasi dan Anggaran Minim Festival Tabot 2025

17 Keluarga Tabot Penja Tuntut Keadilan, Tolak Pemindahan Lokasi dan Anggaran Minim Festival Tabot 2025--ist/Rakyatbengkulu.com
BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM – Suara kekecewaan menggema dari 17 perwakilan Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) Penja Bencoolen terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Bengkulu, terutama Dinas Pariwisata dan Gubernur Helmi Hasan.
Kekecewaan ini muncul seiring dengan rencana pelaksanaan Festival Tabot 2025 yang dinilai tidak melibatkan mereka dalam proses perencanaan, serta alokasi anggaran yang dianggap tidak layak.
KKT secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana pemindahan lokasi pelaksanaan Tabot dari kawasan View Tower (Kampung) ke kawasan Sport Center, Pantai Panjang.
Bagi para keluarga Tabot, lokasi yang telah menjadi bagian sejarah dan budaya ini tidak bisa digantikan begitu saja.
“Kami tidak pernah dilibatkan dalam diskusi ataupun pengambilan keputusan. Tiba-tiba saja muncul kabar bahwa lokasi Tabot akan dipindahkan. Kami, 17 keluarga Tabot, menolak keras. Jika ingin membuat festival lain, silakan, tapi jangan membawa nama Tabot,” ujar Ketua KKT Bencoolen, Achmad Syafril SY.
BACA JUGA:AJI Bengkulu Kecam Pernyataan Gubernur Bengkulu Soal 'Take Down' Media, Dinilai Ancam Kebebasan Pers
BACA JUGA:Hendry dan Zulmansyah Sepakat Kongres Persatuan PWI Digelar Paling Lambat Agustus 2025
Selain polemik lokasi, persoalan anggaran menjadi sorotan tajam.
Berdasarkan surat resmi dari Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu, dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan Festival Tabot 2025 hanya sebesar Rp90 juta.
Jumlah ini dipandang sangat jauh dari cukup, terutama jika dibagi kepada 17 keluarga Tabot yang aktif berpartisipasi dalam prosesi.
“Dengan anggaran yang hanya Rp90 juta, itu sangat tidak realistis. Padahal, biaya untuk satu Tabot saja bisa mencapai Rp20 juta,” tambah Syafril.
KKT mendesak Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan agar tidak hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi juga lebih proaktif dalam menggandeng dunia usaha melalui program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).
Mereka menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 100 perusahaan yang berada di bawah koordinasi pemerintah provinsi, dan seharusnya dapat dilibatkan dalam pelestarian budaya daerah.
BACA JUGA:Grup Facebook 'Fantasi Sedarah' Hebohkan Warganet dan Tuai Kecaman, Kini Diselidiki Polisi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: