RAKYATBENGKULU.COM – Penggunaan pupuk kimia di Indonesia terus meningkat, terutama pupuk kimia bersubsidi.
Berdasarkan data dari sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK), usulan pupuk bersubsidi mencapai sekitar 22 juta ton per tahun.
Namun, 70 persen bahan baku pupuk kimia seperti gas bumi, rock phosphate, sulfur, KCl, dan amonia masih diimpor dari luar negeri.
Meski petani masih mendapat subsidi, kualitas pupuk kimia bersubsidi kini mengalami pengurangan unsur hara.
BACA JUGA:3 Bapaslon Bupati dan Wakil Bupati Rejang Lebong Lolos Verifikasi Administrasi Pilkada 2024
BACA JUGA:Target PAD Kabupaten Rejang Lebong Naik Menjadi Rp 105 Miliar di 2025
Kondisi ini menjadi tantangan, terutama saat harga pupuk non-subsidi terus meroket tanpa diimbangi oleh harga komoditas pertanian yang stabil.
Pupuk kimia memang menyediakan unsur hara bagi tanaman, namun penggunaannya yang berkelanjutan justru merusak kesuburan tanah.
Tanah yang sering menggunakan pupuk kimia perlahan menjadi tandus, dan cacing tanah—penanda tanah subur—sudah jarang ditemukan di lahan-lahan pertanian tersebut.
Berbeda dengan pupuk organik, yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga lebih ekonomis.
BACA JUGA:Kasihan! Ini Shio yang Gagal Cuan di Tahun 2025
Pupuk organik berasal dari kotoran hewan, sampah organik, dan humus.
Selain harganya lebih terjangkau, pupuk ini juga dapat meningkatkan hasil pertanian secara berkelanjutan.
Rolis, petani asal Kelurahan Simpang Nangka, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, mengungkapkan bahwa pupuk organik atau kompos semakin diminati, terutama oleh petani sayuran.