RAKYATBENGKULU.COM - Pada 16 Oktober 2024, kantor redaksi media Jubi Papua yang berlokasi di Kota Jayapura menjadi sasaran teror berupa pelemparan bom molotov oleh orang tidak dikenal.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua.
Koalisi ini terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), pekerja pers, dan pengacara, baik dari Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, hingga tingkat nasional dan internasional.
Direktur Paham Papua, Gustaf Kawer, menekankan bahwa insiden teror bom ini bukanlah permasalahan sepele, melainkan kasus yang serius dan memerlukan penanganan profesional oleh pihak kepolisian.
BACA JUGA:Petani Tuntut Dilibatkan dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Bengkulu Utara dan Mukomuko
Ia mengungkapkan keprihatinan terkait lambannya pengungkapan kasus teror serupa yang telah terjadi sebelumnya, terutama yang menimpa jurnalis dan aktivis hak asasi manusia.
"Pengungkapan kasus-kasus teror seperti ini selalu lambat dan sering kali tidak membuahkan hasil," jelasnya, Selasa, 22 Oktober 2024.
Kawer menilai bahwa untuk kasus bom di kantor Jubi, pengungkapan pelaku seharusnya tidak terlalu sulit dilakukan, mengingat banyaknya kamera CCTV yang terpasang di sekitar lokasi kejadian.
"CCTV lengkap di setiap titik. Tinggal dicek saja, pasti pelaku bisa ditemukan," ujar Kawer dengan tegas.
BACA JUGA:Resep Ayam Panggang Serai Ala Chef Devina Hermawan, Kenikmatan Luar Biasa untuk Keluarga
BACA JUGA:5 Manfaat Makan Kurma untuk Kesehatan Tubuh Sesuai Sunnah Rasulullah SAW
Ia juga menyayangkan sikap kepolisian yang terlihat lamban dalam memproses laporan. Menurutnya, pihak kepolisian bisa memulai penyelidikan tanpa harus menunggu laporan resmi dari korban.
Lebih lanjut, Kawer menekankan perlunya penerapan pasal yang tepat dalam kasus ini, misalnya Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Darurat, yang dapat mempercepat pengungkapan kasus.
"Jika penanganannya menggunakan pidana umum, proses penyelidikan bisa berjalan lambat, dan sering kali alasannya kurangnya bukti," ungkapnya.