HONDA

Incar 'Cuan' Miliaran dari Pungutan Sawit

 Incar 'Cuan' Miliaran   dari Pungutan Sawit

Ketua DPRD Mukomuko M. Ali Saftaini, SE saat merespon tuntutan warga di halaman Kantor Bupati Mukomuko.FOTO: Peri RB--

 

MUKOMUKO, RAKYATBENGKULU.DISWAY.ID – Tuntutan kepala daerah ke pemerintah pusat, agar diberikan hak menarik retribusi dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit membuat cemas petani kelapa sawit.

Sebab diyakini, retribusi yang diusulkan minimal Rp 25 per kilogram itu akan berdampak langsung ke petani kelapa sawit.

Meskipun dalihnya, retribusi itu dikenakan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.

BACA JUGA: Kisruh Pamor Ganda, Gubernur Bilang Begini

TBS yang dihitung, hasil dari kebun kelapa sawit di atas lahan hak guna usaha (HGU).

Jika dikabulkan, untuk Pemkab Mukomuko bisa mendapatkan uang hingga Rp 10 miliar lebih.

Apalagi jika retribusi itu diterapkan pada seluruh produksi TBS di Mukomuko, potensi pendapatan Pemkab Mukomuko, bisa mencapai Rp 13,9 miliar lebih.

Pasalnya, produksi TBS di Kabupaten Mukomuko, tercatat mencapai 557.404,8 ton setahun.

Produksi itu, terpantau selalu mengalami kenaikan. Sebab di tahun 2017, tercatat produksi TBS kelapa sawit di Mukomuko hanya  350.633,3 ton.

BACA JUGA: Ribut Pungutan 25 Perak Sawit, KMS Aksi Massa

Lalu di tahun 2018 meningkat jadi 527.190,2 ton. Terus meningkat menjadi 553.895,5 ton tahun 2019.

Artinya setiap tahunnya, potensi pendapatan Pemkab Mukomuko jika mendapat kewenangan menarik retribusi itu, makin besar.

Apalagi untuk di Mukomuko, luasan kebun kelapa sawit terus bertambah setiap tahunnya.

Kemudian semakin bertambahnya usia tanaman kelapa sawit, yang biasanya diikuti dengan bertambahnya produksi karena meningkatkan jumlah tandan dan makin besarnya TBS.

Ketua Ikatan Petani Sawit Mandiri Mukomuko, Edy Manshuri, S.Hut, MT berkeyakinan, dampak dari kebijakan itu akan tetap merugikan petani sawit.

Menurutnya, usulan kepala daerah itu, sangat mengecewakan.

BACA JUGA: Akhirnya 2 Kursi Kosong Dewan Diisi

Sebab waktu untuk mengusulkan itu, bukan pada waktu yang tepat. Mengingat saat ini, harga TBS ditingkat petani, cukup rendah.

“Anggaplah dia pungut pada perusahaan yang memiliki HGU.

Kalau hilirnya dibebani, hulunya tetap menderita. Ingat, itu TBS. Nah TBS itu siapa?

Ya ujungnya nanti petani sawit juga, apapun alasannya. Timingnya nggak pas.

Kalau harganya Rp 3 ribu per kilogram, boleh kita bantu.

Kalau harga sekarang, dimana letak kemanusiaannya,” kesal Edy.

Hal senada dikemuka Ketua Koalisi Masyarakat Sipil (KMS), Dedi Hartono.

“Para bupati menuntut soal retribusi, ke pemerintah pusat. Apalagi kondisi TBS hari ini anjlok. Rasanya terlalu tidak simpatik.

BACA JUGA: Tips Aman Mengendarai Motor Matik di Tanjakan dan Turunan

Seharusnya bukan demikian,” kecewa Dedi, yang sehari sebelumnya menggelar aksi ke Kantor Bupati Mukomuko.

Seharusnya sambung Dedi, seratus lebih bupati yang tergabung dalam Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) memikirkan bagaimana menormalkan harga TBS.

“Betul retribusi bukan diambil dari petani sawit swadaya.

Itu akan diambil kepada perusahaan yang punya HGU.

Tetapi biasanya kenyataan di lapangan, perusahaan tidak akan mau rugi,” ujarnya.

Apapun caranya, lanjut Dedi, perusahaan berfokus pada keuntungan.

Dari perhitungan pihaknya, untuk Mukomuko, pendapatan dari retribusi TBS itu mencapai Rp 50 miliar.

BACA JUGA: Kuliah Gratis, Lulus Langsung Kerja

Artinya, perusahaan akan kehilangan uang hingga puluhan miliar rupiah, dari kebijakan tersebut.

Padahal selama ini, uang itu menjadi milik atau masuk keuntungan perusahaan.

“Mana mungkin perusahaan mau hilang begitu saja keuntungan puluhan miliar itu. Ke mana lagi perusahaan itu akan cari gantinya.

Pasti akan dibebankan ke petani juga akhirnya,” analisis Dedi.

Apalagi untuk di Mukomuko, perusahaan perkebunan kelapa sawit punya pabrik kelapa sawit (PKS).

Tidak ada yang menjamin, perusahaan bermain menutupi keuntungannya yang berkurang itu, dengan mengenakannya pada harga beli pabrik terhadap TBS masyarakat.

BACA JUGA: Kabar Baik Bagi Petani, Harga Sawit di Mukomuko Merangkak Naik

“Kalau sudah begitu, nah, harga TBS di petani makin anjlok.

Darimana Pemkab tahu perhitungan harga yang dipatok pabrik. Kan perusahaan itu sendiri mematok harga sekian.

Mau terima, silakan jual ke pabriknya. Kalau tidak, silakan jual ke tempat lain. Ini sama saja muaranya nanti, Pemkab memalak masyarakat secara legal.

Dengan alibi, yang ditarik retribusi hanya perusahaan,” analisinya lagi.

Sama halnya ketika ada kebijakan Pemprov Bengkulu, meningkatkan besaran persentase penarikan pajak atau retribusi dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) dari setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Hasilnya, tetap masyarakat yang terkena. Karena pemilik usaha tidak mau rugi, tidak mau berkurang untungnya.

Sehingga diputuskan dinaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual di SPBU.

“Jadi nantinya lagi-lagi diambil dari selisih harga TBS masyarakat.

Ini hanya memperpanjang rentetan pungutan saja, yang secara legal kepada perusahaan. Tapi korbannya tetap masyakat,” tandasnya.

BACA JUGA: Blue, Green, and Circular Economy Punya Potensi Besar untuk Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Ketua DPRD Mukomuko, M. Ali Saftaini, SE mengaku tidak mempermasalahkan usulan retribusi minimal Rp 25 per kilogram dari setiap produksi TBS kelapa sawit milik perusahaan yang punya HGU.

Bahkan jika itu berhasil, akan memberikan dampak positif terhadap daerah.

Sebab selama ini, daerah yang ada investasi perkebunan kelapa sawit dari perusahaan, tidak mendapatkan apapun.

“Kabupaten selama ini hanya mendapatkan bagi hasil.

Sebab pajak bumi dan bangunannya ditarik pusat, pajak air bawah tanahnya ditarik provinsi.

Untuk kabupaten tidak ada. Paling yang murni masuk itu, pajak parkir. Adanya penarikan retribusi itu, bagus untuk daerah,” kata Ali.

Namun yang perlu jadi perhatian serius Pemkab, bagaimana ketentuan yang diterbitkan pusat nantinya, dapat memastikan tidak terjadinya pembebanan pada petani kelapa sawit.

Sehingga petani pun benar-benar aman dari risiko atas kebijakan tersebut.

BACA JUGA: Jangan Kecil Hati, PPPK Tak Terima Gaji 13

“Karena ini sifatnya baru usulan, jadi memang belum diketahui teknisnya seperti apa.

Kita belum bisa menilai banyak sekarang, karena memang belum ada apa-apanya mengenai itu.

Jadi kita tunggu saja perkembangannya nanti,” kata Ali.

Informasi diperoleh RB, bahwa saat pertemuan AKPSI di Jakarta pada 7 Juli, menghasilkan 13 rekomendasi untuk pemerintah pusat.

Pada poin ketujuh, rekomendasi berisi, meminta kepada pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada Kabupaten penghasil sawit memungut retribusi produksi TBS minimal Rp 25 per kilogram.

Dan untuk finalnya, informasinya akan diputuskan dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) AKPSI, yang digelar dari 15 Julisampai 17 Juli 2022 di ABC International Stadium Ancol Jakarta.

“Pak Bupati akan menghadiri langsung acara Munas 1 AKPSI itu,” kata Kabag Protokoler dan Komunikasi Pimpinan Setdakab Mukomuko, Dodi Harsono, S.IP, M.Si.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: