HONDA

Dramatis! Ritual Adat Serawai Menghukum PTPN VII, Warga Tuntut Keadilan Tanah Leluhur

Dramatis! Ritual Adat Serawai Menghukum PTPN VII, Warga Tuntut Keadilan Tanah Leluhur

Dramatis! Ritual Adat Serawai Menghukum PTPN VII, Warga Tuntut Keadilan Tanah Leluhur--ist/rakyatbengkulu.com

"Sisa tanaman kopi, bekas sawah, semua masih ada. Kurang bukti apalagi kalau itu bukan tanah leluhur kami? Tapi masih dianggap milik PT," tegas Nahadin. 

Ia juga menolak tuduhan bahwa warga adat telah menyerobot lahan perusahaan.

"Jangan pernah tuduh kami maling. Mereka yang sebenarnya merampas tanah dan wilayah masyarakat adat Serawai," tambahnya.

Selain melakukan ritual adat, masyarakat adat Serawai juga menyerukan keadilan bagi Anton, seorang pelajar SMKN 3 Seluma dan kakaknya, Kayun. 

Mereka dituduh mencuri sawit milik PTPN VII, padahal menurut warga, pohon sawit tersebut tumbuh di tanah leluhur mereka sendiri.

"Apa yang dicuri, kalau pohonnya tumbuh di atas tanah kami sendiri? Ini jahat sekali. Apalagi kalau sampai diputuskan bahwa anak-anak kami mencuri di tanah neneknya sendiri," ujar Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai, Zemi Sipantri.

BACA JUGA:Krisis Kemanusiaan di Palestina: UNICEF Serukan Perlindungan bagi Anak-Anak yang Terancam

BACA JUGA:Kebakaran Tragis di Kelab Malam Makedonia Utara, 59 Tewas dan Lebih dari 100 Terluka

Zemi menilai tudingan terhadap Anton dan Kayun sebagai bentuk kriminalisasi dan intimidasi agar masyarakat adat menyerah dan meninggalkan tanah leluhur mereka. 

Padahal, lanjutnya, ribuan hektare tanah di Seluma telah diberikan negara kepada perusahaan sejak tahun 1987 tanpa persetujuan dari masyarakat adat yang telah lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut.

"Nenek-nenek kami diusir. Dan kini, kami para cucunya yang mengurus tanah leluhur kami malah dibilang penjahat. Kami mendesak gubernur atau presiden untuk segera turun tangan dan memperhatikan nasib kami," katanya penuh harap.

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, menegaskan bahwa konflik tanah di Pering Baru bukanlah kasus tunggal. 

Ia menilai bahwa permasalahan serupa dapat ditemukan di banyak daerah akibat ketidakpedulian pemerintah terhadap keberadaan masyarakat adat.

"Seluma ini sudah punya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Seharusnya ini bisa menjadi instrumen penyelesaian. Jangan cuma diam. Perusahaan juga harus menghormati. Kalau tidak, ini akan ribut terus sepanjang waktu," kata Fahmi.

BACA JUGA:Kebakaran Tragis di Kelab Malam Makedonia Utara, 59 Tewas dan Lebih dari 100 Terluka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: